8 September 2016
Perkebunan sawit seringkali menjadi tudingan sebagai perusak hutan. Namun apa yang dilakukan Asian Agri dengan petani plasmanya menunjukkan bahwa para petani mampu berkebun sawit dengan standar dunia.
Prinsip Asian Agri untuk menerapkan prinsip 4C, dibuktikan juga dalam mengelola perkebunan sawit mereka. 4C merupakan prinsip-prinsip yang diteguhkan oleh pendiri Asian Agri, pengusaha nasional Sukanto Tanoto, dalam mengelola perusahaan. Prinsip 4C itu adalah good for community (baik untuk komunitas), good for country (baik untuk negeri), good for climate (baik untuk iklim/lingkungan) dan tentu saja, good for company (baik untuk perusahaan). Dengan 4C itulah, 29 ribu petani plasma binaan Asian Agri mengelola kebun-kebun sawit mereka.
Model kemitraan petani dan perusahaan sudah diterapkan Asian Agri sejak tiga dekade silam. Bahkan perusahaan ini bisa dibilang merupakan salah satu pioner sistem plasma di bidang usaha perkebunan sawit. Dalam kemitraan ini, Asian Agri membantu membuka akses yang lebih luas dalam banyak hal. Mulai dari pengetahuan tentang cara berkebun yang baik, akses kepada sarana dan praparasa produksi, pendampingan manajemen, transparansi hingga akses kredit perbankan.
“Petani kelapa sawit memiliki 42% persen dari luas kebun sawit nasional. Jadi, mereka harus mendapat dukungan dan pendampingan yang baik,” ujar Direktur Asian Agri, Freddy Widjaya. Dan tak kalah pentingnya, di tengah deraan kritik sawit Indonesia, adalah bagaimana peran Asian Agri mengajak dan mendampingi petani plasma binaannya tersebut untuk mengelola kebun mereka sesuai dengan standar-standar internasional. Freddy yakin, penerapan praktik terbaik yang ramah lingkungan sesuai dengan standar global merupakan kunci untuk melanjutkan kesuksesan pengelolaan kelapa sawit. Dengan cara ini pula, Asian Agri bisa menularkan cara pengelolaan perkebunan sawit sesuai standar internasional.
Isu bahwa perkebunan sawit sebagai perusak lingkungan harus ditepis dengan langkah-langkah pengelolaan perkebunan sesuai ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Kedua standarisasi ini merujuk pada pengelolaan kebun sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Dalam beberapa bulan ke depan, produksi TBS petani diharapkan sudah mulai membaik, setelah tahun lalu dilanda El Nino yang menyebabkan produksi kelapa sawit menurun drastisi. Di tengah produksi membaik, industri sawit Indonesia masih terus dihujani pertanyaan seputar pengelolaan kebun yang tidak mengikuti standar internasional, termasuk dituding sebagai penyebab kabut asap di musim kemarau panjang. Untuk itu, Asian Agri mengajak petani, perusahaan sawit lain, masyarakat desa untuk bersinergi, membangun pemahaman dan melakukan langkah-langkah nyata untuk sawit Indonesia yang berkelanjutan.
Ia yakin, melalui kemitraan petani dan perusahaan, industri sawit akan mampu menghadapi kampanye negatif soal lingkungan dan mampu menerapkan standar perkebunan sawit berkelanjutan. “Kita harus terus mengambil peran aktif di dalam mendorong maupun memfasilitasi industri kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia untuk bisa menghadapi persaingan global” kata Freddy. Standar global untuk minyak sawit berkelanjutan dan ketentuan Pemerintah Indonesia melalui ISPO tentunya wajib dilaksanakan pekebun sawit. Pelaksanaan ketentuan itu sekaligus menunjukkan pada dunia bahwa sistem berkebun sawit di Tanah Air telah sesuai dengan praktik perkebunan sawit berkelanjutan. Dan nyatanya, praktik berkelanjutan sudah menjadi tuntutan pasar saat ini.
Ia mengingatkan, bagi petani swadaya yang belum tergabung dalam wadah seperti kelompok tani, informasi dan pengetahuan perihal perkebunan berkelanjutan akan berjalan lambat. Kesuksesan pengelolaan kelapa sawit bersama petani harus disampaikan dengan jelas dan konsisten agar tidak menimbulkan keraguan dalam mengambil keputusan.Proyek pertama penguatan petani swadaya dimulai oleh Asian Agri di Negeri Lama, Sumatra Utara, pada tahun 2012. Kerja sama berlanjut hingga menjangkau petani wilayah Riau dan Jambi. Asosiasi petani Amanah, yang merupakan kelompok petani swadaya binaan Asian Agri, berhasil menjadi asosiasi petani swadaya pertama di Indonesia yang bersertifikat RSPO dan berkembang dari 763 hektar menjadi 1.048 hektar yang melibatkan 501 kepala keluarga.
Hingga akhir tahun pertengahan 2016, Asian Agri telah menggandeng petani swadaya yang mengelola 21.000 hektar kebun kelapa sawit di tiga provinsi.. Kolaborasi antara Asian Agri dan petani swadaya berhasil menjadikan program ini meraih medali emas pada CSR Award di tahun 2014. Di awal tahun 2016, Asian Agri bersama dengan IDH dan Setara Jambi, mengadakan program yang akan melibatkan 10.000 petani swadaya di provinsi Jambi. Program ini untuk menginventarisasi dan memberikan pengetahuan kepada para petani agar dapat membentuk kelompok dan memberikan pelatihan praktik-praktik kebun terbaik sebagai pondasi di dalam menerapkan perkebunan yang berkelanjutan.
Keberhasilan yang dicapai dari kerja sama Asian Agri dengan petani kelapa sawit diharapkan dapat menjadi contoh untuk pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia. (*)
http://bumn.go.id/ptpn5/berita/0-Petani-Sawit-Berstandar-Dunia